Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang lebih dikenal dengan nama Gedung Agung, merupakan salah satu dari enam istana kepresidenan resmi di Indonesia. Terletak di ujung selatan Jalan Ahmad Yani (dulu dikenal sebagai Jalan Malioboro), gedung ini berdiri di atas lahan seluas lebih dari 4 hektar dan berdampingan dengan Museum Benteng Vredeburg. Bangunan bersejarah ini awalnya dibangun pada tahun 1824 sebagai kediaman Residen Belanda ke-18, Anthonie Hendriks Smissaert, dengan arsitek A. Payen dan mengadopsi gaya arsitektur Eropa tropis. Pembangunannya sempat tertunda karena meletusnya Perang Diponegoro, dan baru rampung pada 1832. Setelah gempa hebat pada tahun 1867, gedung ini kembali dibangun ulang pada 1869.
Peran Gedung Agung sangat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Pada 6 Januari 1946, ketika situasi di Jakarta tidak kondusif, ibu kota pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta dan Gedung Agung menjadi tempat tinggal Presiden Soekarno hingga tahun 1949. Di tempat inilah berbagai peristiwa penting terjadi, seperti pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI dan kegiatan pemerintahan selama masa revolusi fisik. Gedung ini juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara kenegaraan dan kegiatan diplomatik, serta menjadi tuan rumah bagi puluhan kepala negara dari berbagai belahan dunia.
Secara arsitektural, Gedung Agung mencerminkan perpaduan gaya Eropa dengan sentuhan budaya lokal. Hal ini terlihat dari keberadaan tiang-tiang Doric, lampu kristal gantung, serta perabotan khas seperti ukiran Jepara dan batik karya Iwan Tirta. Di halaman depan terdapat dua patung Dwarapala serta Tugu Dagoba dari batu andesit, menambah kekhasan budaya Jawa pada bangunan ini. Saat ini, Gedung Agung tidak hanya berfungsi sebagai tempat kegiatan kenegaraan, tetapi juga dibuka untuk umum pada hari kerja dengan pemandu resmi, menjadikannya salah satu destinasi edukatif dan bersejarah di Yogyakarta. Gedung ini terus berperan sebagai simbol kedaulatan negara dan pusat pembelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.